Letter for Kinci #4 : Reply

January 22, 2013

Sekarang pukul 2:57 dini hari, saya terbangun untuk kedua kalinya. Saat kulihat ada tanda merah di hapeku, kubuka dan ternyata ada seseorang yang ingin suratnya segera dibaca. Kukucek mataku yang sepertinya agak berat dan kemudian bangun meski tak tahu aku sudah sadar atau belum. Setelah duduk sebentar, ku raih gelas hitamku satu-satunya yang ada dikamar kemudian kutekan dispenser untuk menumpahkannya kegelasku. Dari pagi ini adalah gelas ke-3 yang sempat memasukkan air kemulutku. Dan tak sebutirpun nasi yang masuk atau makanan berat lainnya. Hanya satu buah pisang kecil yang terpaksa kuambil guna memuaskan hati ibu yang tak berhenti menyuguhiku makanan. Sepanjang hari ini, dadaku teramat sesak dan beberapa waktu diantaranya aku tak sanggup menahan derai air mata.

Aku yang sangat jarang bisa bersama keluargaku, ibu apalagi seharusnya memanfaatkan moment-moment seperti hari ini untuk sebanyak mungkin bercengkerama, bercanda dan lain sebagainya. Tapi yang terjadi, saya tak menceritakan apapun seperti sebelum-sebelumnya jika bersama ibu, tidak bercanda berlebihan yang selalu membuat ibu mengatakan saya ini mungkin sudah gila, saya dingin. Saya dingin sekali, saya hanya sekali tersenyum jika ibu menatap saya dan menjawab apa yang ditanyakannya dengan kata iya atau tidak. Sekuat tenaga saya menahan air mata, menarik nafas dan menghembuskannya lewat mulut. Sedikit banyak membantuku mengurangi sesak. Atau sekali-sekali aku kekamar mandi, membasuh wajahku dengan air kemudian menangis. 

Ibuku, aku yakin dia tahu bagaimana suasan hatiku hari ini. Namun mungkin dia tak tahu pasti bagaimana detail kenapa aku murung seharian. Solusinya kalau demikian tak lain pasti komunikasi. harusnya aku menceritakan dan membuat beliau tahu apa yang ada dikepalaku. Yah, itu solusinya. Tapi, aku tidak bisa. Mungkin diam telah akrab sekali denganku. Mungkin diam, tanpa kusadari telah membiasakanku untuk bungkam. Beberapa bulan terakhir ini sepertinya. Dan hari ini, aku diam. Sejadi-jadinya. Aku sadar itu mengecewakan ibu. 

Diam, bungkam, tak bicara, menahan. Sebenarnya aku diam untuk menahan agar aku tak menyakiti seseorang lebih parah. aku diam untuk meredam emosi yang mendidih dikepalaku. Aku diam untuk membuat aku tahu apa yang sebenarnya kuinginkan. Aku diam selama bersama ibu seharian dan itu artinya aku tak ingin menyakiti perasaan beliau lebih dalam lagi. Aku mengun ci rapat bibirku, cukup aku menyentuhnya dengan memegang tangan, menciumi dan memeluknya. Semoga itu dapat sedikit mengurangi kekecewaannya.

Maaf, saya tulis sesuatu yang tidak jelas. Entah kenapa saya menuliskan empat paragraf diatas. Jari saya mungkin salah mengalirkan kata :). Maaf untuk tangis yang harus berderai disudut kamar, dan terima kasih untuk cintanya yang mengharukan. Soal kalimat terakhir saya hanya bercanda. Jika kamu menemukan orang yang berbeda, tak menutup kemungkinan itu adalah bagian yang belum pernah kau temui saja.

Untuk pertemuan 28 nanti, aku juga tak tahu mesti dimana. Saat ini aku tak tahu bagian mana di otakku yang  bisa memberitahuku tempat apa yang bisa membuatmu bahagia. Mungkin beberapa waktu dari sekarang, hingga otakku bisa pulih dan menyisakn sedikt tempat agar aku bisa memikirkan hal ini. Dimanapun pertemuan ini berlangsung, aku harap kamu bisa menerimaku dan membuat lekukan disudut bibirmu. Selamat  dini hari kelinci, tidur yang lelap. Hari ini pasti sangat melelahkan. oh iya, aku akan mendengar ceritamu dan bertukar pikiran. baiklah, aku tulis kata terakhir.

You Might Also Like

0 comments