Akhirnya Friday end, dan satu
per satu karyawan meninggalkan kantor. Lalu saya? Saya masih duduk didepan PC,
tidak sedang bekerja melainkan scroll blog-blog orang dan blog sendiri. Seperti
biasa, Tuhan selalu menyapa melalui tulisan-tulisan orang lain. Mengingatkan
dan mencoba menjawab beberapa pertanyaan yang berbaris dikepala. Tiba-tiba ada
yang nanya, belum pulang? Saya diam.
Pertanyaan itu hanya dapat
dijawab oleh orang yang memiliki rumah atau minimal tempat untuk kembali. Saya?
Tidak memiliki itu. Saya tak memiliki rumah saat ini, saya tak punya tujuan
kemana. Dan ini sangat payah. Seharusnya saya memiliki tempat pulang, dan
sebenarnya saya sangat merindukan bagaimana rasanya pulang. Meletakkan beban
seharian, memeluk diri kuat-kuat kemudian menyatukan puing-puing diri yang
terpecah belah dihantam hiruk pikuk keramaian seharian. Pulang adalah cara
untuk menemukan diri utuh. Pulang yang sangat dirindukan.
Hal fatal yang mungkin atau
sedang terjadi jika tak pulang adalah keutuhan yang semakin jauh. Karena retak
yang disebabkan dari tinggal terlalu lama diluar “rumah” membuat diri semakin
hari tak berwujud. Dan ketakutan terbesar adalah, diri menjadi remah yang
hilang disapu angin sebelum sampai di “rumah”.
Kemudian riuh terdengar diujung koridor. Beberapa karyawan lelaki dan atasannya sedang bercuap-cuap sambil terbahak. Candaan yang didominasi dari basa basi busuk. “ributnya” satu kata super dari adi yang membuat tawa pecah. Saya akhirnya tertawa, ini tawa pertama yang asli hari ini. Terima kasih gendut sudah bikin saya tidak bunuh diri.
Kemudian riuh terdengar diujung koridor. Beberapa karyawan lelaki dan atasannya sedang bercuap-cuap sambil terbahak. Candaan yang didominasi dari basa basi busuk. “ributnya” satu kata super dari adi yang membuat tawa pecah. Saya akhirnya tertawa, ini tawa pertama yang asli hari ini. Terima kasih gendut sudah bikin saya tidak bunuh diri.
home |