Menyapa Makassar dalam Sepucuk Surat Merah Muda
November 15, 2016
Beberapa bulan yang lalu saya mengunggah sebuah postingan di instagram.
"Percakapan pagi ini...
"Percakapan pagi ini...
T : Gimana yah perasaan masyarakat kota ini, yang lahir dan tumbuh disini. Menyaksikan secara perlahan tanah merayapi lautan. Bangunan berdiri kokoh satu persatu.
R : Reklamasi yang membentuk kota Ten, kan kita tahu daratan semakin sempit. Lagipula ekosistem disekitar sini juga sudah rusak. Yang penting,, jangan sampai jauh kesana reklamasinya agar tdk merusak ekosistemnya.
Kemudian hening.
Saya teringat opening speech wakil walikota tempo hari. Tingkat pertumbuhan ekonomi 9,1%, dengan rata-rata penghasilan per orang sebesar 4 jt. Tergolong tinggi jika dibandingkan provinsi lain di Indonesia. Namun mirisnya adalah angka kesenjangan juga semakin tinggi, 0,45. Entah angka itu harusnya berada dinilai mana. Pantas saja pemandangan kontras sangat bisa dijumpai di kota ini. Rumah mewah diantara gubuk2 reot, hotel2 mewah serta mall2 yang semakin banyak namun masih dijejali dengan bangunan kumuh dan para tunawisma.
Yah, semua itu adalah bagian dari proses sebuah kemajuan. Bukan waktunya sibuk menyalahkan, diantara 1,8 juta jiwa penghuni kota ini, terdapat orang-orang positif. Para penggerak roda ekonomi, yang tak hanya peduli diri sendiri. Mereka akan merangkul dan membantu lebih banyak lagi penghuni kota ini hingga angka kesenjangan itu tak lagi diselipkan dalam sebuah opening speech.
Selamat pagi para penggerak ♥
#positivethinking #positivepeople #positivevibes #makassar
**
Waktu itu saya sedang lari pagi, sekaligus belajar melawan godaan malas-malasan meringkuk dibalik selimut. Rute jogging pagi itu yang saya pilih adalah area center point of Indonesia. Saya suka sekali menyebutkan nama center point of Indonesia ini, ada sensasi magis menyenangkan dalam perut saat mulut saya mengeja tiga kata tersebut. Ini adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di delta ini. Sebuah hasil reklamasi yang mencuri perhatian saya, semakin saya memperhatikan setiap sisi semakin lincah pikiran saya mengulang-ulang peristiwa-peristiwa yang pernah saya alami di kota ini, Makassar.
Tepatnya 2009, tujuh
tahun yang lalu saya berpindah ke kota ini dengan status mahasiswa. Tujuh tahun
yang menurut saya berlalu begitu cepat. Sekarang status saya bukan lagi sebagai
mahasiswa, melainkan seorang karyawan atau pekerja. Jika dulu menyebutkan
"Makassar" sebagai domisili rasanya masih canggung, saat ini sudah
jadi keharusan buat saya pribadi meski KTP masih didaerah lahir. Ini bukan
perkara mempermudah administrasi terkait keberadaan saya saja, melainkan ada
sebuah keterikatan yang semakin lama semakin tumbuh dan menyadarkan saya bahwa
saya adalah bagian dari tanah ini. Lah iyaa lah, kalau tidak mau sadar akan hal
tersebut, itu namanya saya harus minggat.
Mari kembali sedikit serius, sedikit lebih dalam. :D
Angka kesenjangan, semakin nilainya mendekati nol berarti
semakin baiklah hal tersebut. Lalu berdasarkan data yang disampaikan bapak
wakil walikota, kesenjangan kita
tergolong tinggi. Ada yang pernah melintasi jalan lagaligo tidak? Jalan kecil
yang dijejeri ruko-ruko aneka mainan, makanan dan hotel mini. Pernah satu pagi
saya lewat disana, ada kakek tunawisma yang tidur diemperan toko. Keadaannya
membuat saya ngilu, esok paginya saya lewat lagi, saya melihat kakek itu
dicukur oleh seorang perempuan paruh baya. Pemandangannya sedikit mengobati
rasa ngilu saya.
Saya pernah pulang larut malam, dan melewati jalan jenderal
sudirman. Disana saya dapati bapak-bapak sedang tidur dibawah tanaman hias,
lapangan balai kota. Pernah juga saya dapati adik setinggi spion mobil jam 1
malam di fly over nawarin koran. Atau tiga orang yang duduk di rumah-rumah
kecil di pinggiran jalan metro tanjung bunga, yang sekarang rumah-rumah
tersebut sudah hilang entah kemana. Masa itu jaman-jaman TSM masih sepi. Iyah,
dulu saya sering ngilu melihat pemandangan yang sangat kontras. Dulu
pemandangan di pinggir jalan menuju Trans Mall itu menurut saya sangat timpang.
Pinggir jalan masih sangat gelap, jadi akan sangat kelihatan kalau ada sebuah
cahaya dari lampu pijar atau semacammnya. Saya pernah mikir bahwa makassar
bagian TSM itu area langit dan bumi.
Dengan rekaan-rekaan peristiwa ketimpangan yang muncul satu-satu
dikepala, dan opening speech dari Wakil Walikota pada sebuah acara yang
berujung kepada postingan Instagram ini. Saya ingin menuliskan sebuah surat
kepada Makassar.
Dear Makassar,
Saya adalah manusia yang menyebut namamu sebagai asal-usulku dan
sebagai tempat pulangku. Banyak harapan yang menunggu untuk diwujudkan olehmu
di masa depan.
Berilah banyak ruang untuk para orang tua berbagi dengan yang
muda, maupun sebaliknya. Agar generasi ini tumbuh dengan pekatnya budaya dan
sejarah. Agar dimasa depan, dunia mampu membedakan mana orang makassar dan mana
yang bukan. Saat dunia semakin giat bekerja, ada baiknya Makassar semakin giat
peduli pada hal non materil untuk menjaga keseimbangan.
Jika suatu saat saya atau siapapun harus meninggalkan tempat
ini, buatlah kami selalu merindukan romantisnya pintu satu unhas saat hujan
rintik-rintik, semilir angin di akkarena saat matahari terbenam, panggilan sayang
ibu-ibu di sentral, janji manis supir pete-pete yang ngetem, dan balada
macet-macetnya rappocini jam 5 sore.
Kami diusia 50 tahun insha Allah, mungkin akan duduk di sebuah
tempat yang dulunya adalah lautan. Menikmati kemajuanmu yang sungguh
hingar-bingar. Lebih baik memilih
berharap demikian ketimbang memikirkan terbaring di sebuah kamar rumah sakit
mewah pinggir laut. Jadi buatlah kami melek
dengan pentingnya kesehatan jangan cuma mikir kerjaan.
Makassar, harapan saya tidak muluk-muluk kan?
Makassar ♥ |
7 comments
MAntaaaaappp ini tulisan2nya kelompok tiga tawwwaaaaaaaa hahay!
ReplyDeleteTerima kasih kak qiah 😘
DeleteSaya juga baru 6 tahun di Makassar, KTPku juga maish KTP daerah. Tulisan yang mengajak nostalgia :')
ReplyDelete😊😊
DeleteRomantisme pintu satu unhas...
ReplyDeleteSurat yang manis ^^
Semanis kmu kak..
DeleteKubayangkanki Makassar waktuku kecil dengan sekarang >.< berubah na mo T______T
ReplyDelete