PUTRI MALU
December 30, 2015
Kepercayaan adalah hal mahal, aku berjuang mendapatkannya dari Ayah dan Ibu dengan menuruti segala keinginan mereka meski terkadang bertolak belakang dari keinginanku sendiri. Aku rela mengorbankannya. Kepercayaan mereka berhasil kudapatkan, sehingga akhirnya segala keinginanku selalu direstui.
Namun hal berbalik menimpa Rar, adikku. Rar tumbuh dengan minim kepercayaan. Hal itu disebabkan karena prestasinya di sekolah tak seperti aku dulu. Ia tidak begitu peduli dengan nilai, 180 derajat berbeda denganku.
Saat kami beranjak dewasa, aku menggantikan ibu dan ayah. Segala keputusan terkait urusan anggota keluarga menurut pada pertimbanganku. Yah, sekali lagi karena Ibu dan Ayah begitu percaya. Kepercayaan tersebut membentuk ku menjadi sangat otoriter kepada adikku. Aku membutuhkan laporan detail mengenai segala urusannya, dan itu membuatnya begitu terikat olehku. Aku melakukannya karena begitu khawatir jika terjadi apa-apa, namun Rar tak mau mengerti kekhawatiranku, ia menganggap itu adalah bentuk ketidak percayaanku padanya.
Hingga suatu sore, ibu menelponku mengabarkan bahwa Rar sudah seminggu tak pulang ke rumah dan tak ada kabar sama sekali. Aku berusaha menenangkan ibu, dan berjanji akan menemukannya.
Aku menggerakkan teman-temanku untuk mencarinya, untungnya mereka adalah senior adikku di kampus. Tak butuh waktu lama mencari Rar. Satyo, salah satu dari teman-teman ku yang juga senior Rar di kelompok pecinta alam memberi tahukan ku keberadaan anak badung ayah.
Satyo mengatakan lokasi keberadaan Rar saat ini, dan kami sepakat berangkat bersama kesana. Kami menuju ke sebuah pulau, perjalanan memakan waktu 45 menit. Berbagai hal berkecamuk di kepalaku, namun Satyo berusaha menenangkanku.
Setibanya di tujuan, kami disambut hujan yang hampir reda. Dari atas dermaga aku tertegun menyaksikan pemandangan pulau ini. Orang lalu lalang di antara puing-puing rumah panggung yang ambruk. Dari jauh aku melihat Rar sedang membagikan makanan ke para korban angin puting beliung. Tak terasa air mataku berlinang melihat adikku tersenyum penuh kebahagiaan melayani para korban. Aku merasa begitu kecil dan berdosa karena selalu meragukan Rar, adikku yang ternyata berhati malaikat.
Di bawah rinai hujan yang hampir reda, ia seperti bunga putri malu. Kemilau di terpa sinar matahari yang mengintip di balik awan. Di mata para korban, adikku seperti Putri malu yang memukau di tengah hutan belantara dan mampu menjadi penawar banyak sakit. Keindahan yang luput dari pandanganku, karena tekanan yang begitu banyak ku bebankan padanya. Sehingga ia menjadi perdu berduri yang menyakitkan keluarga.
Sejak saat itu aku belajar memberi kepercayaan pada Rar agar ia menjadi putri malu yang berkilau indah dan berguna untuk banyak orang.
Edited by. Ikka Trupetees |
0 comments